Jumat, 27 September 2013

Staphylococcus aureus_ kelompok 13

TUGAS KEAMANAN PANGAN

STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Disusun oleh :
Kelompok 13
Cynthia Christinne 11.70.0047
Michael Julio         11.70.0049
Cindy Kusuma       11.70.0053


1.        Karakter Mikroba Patogen
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang hidup secara menggerombol dan tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini memiliki sel yang berbentuk bola dengan diameter sekitar 1 μm dan dinding selnya tersusun atas dua komponen yaitu peptidoglikan dan asam teikhoat, serta tidak memiliki kapsul. Kemampuan patogen yang dimiliki oleh Staphilococcus aureus adalah adanya kemampuan menghasilkan koagulase, yaitu suatu protein yang mirip enzim dan dapat menggumpalkan plasma yang telah diberi oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalam serum. Bakteri yang mampu membentuk koagulase ini dianggap memiliki potensi sebagai mikroba patogen (Jawetz, 1996).


Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang mampu memproduksi toksin (termasuk mikroorgansime patogen) dan mampu hidup baik dengan kondisi aerob maupun anaerob dalam bahan pangan. Jenis toksin yang diproduksi adalah enterotoksin A, sehingga disebut juga dengan Staphylococcal enterotoxins. Karakteristik umum yang dimiliki Staphylococcus aureus atau Staphylococcal enterotoxins ini adalah:
-            Stabil terhadap panas.
-            Protein larut air yang tahan terhadap enzim proteolitik (pepsin dan tripsin).
-            Tahan terhadap aktivitas metabolisme pencernaan manusia.
-            Suhu pertumbuhan: 7-46°C; optimal pada 37°C.
 Suhu optimum dalam memproduksi enterotoksin: 40°C.
-            pH pertumbuhan: 4.5 – 9.3, optimum pada pH 7.0.
 pH optimum dalam memproduksi enterotoksin: 4.8 – 9.0, biasanya aktivitas bakteri ini akan   terhambat di bawah pH 5.
-           Enterotoksin memiliki Aw di bawah 0,87; sehingga Staphylococcus aureus sangat tahan terhadap kondisi pengeringan.
(Lawley, 2008)


2.        Sumber Kontaminasi
Salah satu sumber kontaminasi Staphylococcus aureus adalah kulit manusia yang sebagian besar terkumpul di bagian tangan dan hidung manusia. Secara tidak langsung, kontaminasi bakteri ini dapat terjadi ketika aktivitas pengolahan bahan pangan dilakukan langsung dengan tangan, tanpa penggunaan alat sanitasi seperti sarung tangan atau larutan antibakteri. Selain itu, kontaminasi juga dapat terjadi melalui respirasi atau pernafasan manusia karena pada suatu penelitian menunjukkan bahwa 40-50% manusia adalah pembawa Staphylococcus aureus di dalam hidungnya. Sehingga benda-benda di sekitar manusia pun akan tercemar juga dengan bakteri ini dan terakumulasi seiring dengan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhannya (Jawetz, 1996). Selain manusia, hewan juga termasuk objek pembawa bakteri patogen ini. Misalnya pada sapi yang terkena penyakit Mastitis, dimana penyakit tersebut disebabkan karena terserang bakteri Staphylococcus aureus (Lawley, 2008).

3.        Bahan Pangan yang Sering Terkontaminasi
Staphylococcus aureus terdeteksi sebagai bakteri kontaminan atau bakteri patogen yang mampu hidup dan beraktivitas pada berbagai jenis bahan pangan. Jenis bahan pangan yang terkontaminasi Staphylococcus aureus antara lain adalah:
a.         Susu dan produk berbasis susu (coklat, mentega, dan keju)
b.        Produk daging dan unggas (bacon, sosis, daging kaleng, ham, dan kornet daging)
c.         Produk fermentasi lambat (keju)
        == Mekanisme kerja Staphylococcus aureus ini adalah dengan menghambat produksi asam dari proses fermentasi dengan memutuskan ikatan rantainya. Dengan proses fermentasi yang lambat, maka produksi asam akan menjadi lebih lambat/sedikit dibandingkan dengan proses fermentasi yang menggunakan waktu singkat seperti yoghurt dan tempe. Hal ini terlihat bahwa terjadi kompetisi antara asam yang dihasilkan dengan bakteri Staphylococcus aureus yang menjadikan asam sebagai medianya untuk bertahan hidup dalam media pangan yang difermentasi.

Ketika bakteri Staphylococcus aureus sudah ada di dalam bahan pangan, ketahanan yang dimilikinya antara lain adalah:
- Tahan terhadap pengeringan yang tidak menggunakan panas karena bakteri ini memiliki nilai   Aw yang sangat rendah (0,87).
- Dapat memproduksi enterotoksin pada kondisi aerob (ada O2), tetapi tetap dapat memproduksi dalam jumlah kecil pada kondisi anaerob (tanpa O2).
- Tahan pada pengolahan suhu pasterurisasi, yaitu 60°C.
(Lawley, 2008)

4.        Gejala yang Timbul
Staphylococcal merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan foodborne disease yang diakibatkan oleh keracunan makanan. Keracunan makanan tersebut tergolong dalam bentuk yang ringan, meskipun begitu semua orang rentan terhadap hal tersebut. Foodborne disease terjadi melalui racun yang ada dalam bahan makanan, dan akan memberikan suatu gejala yang cepat yaitu antara 30 menit hingga 7 jam, akan tetapi rata-rata yang sering terjadi adalah 2 - 4 jam. Tingkat keparahan gejala tersebut berkaitan dengan jumlah enterotoksin yang dicerna, selain itu kerentanan individu terhadap enterotoksin tertentu. Jumlah enterotoksin antara 0,1 – 1 µg dapat menyebabkan penyakit, begitupula dengan enterotoksin yang diproduksi oleh organisme yang mencapai 105-106 CFU/g dalam makanan (Lawley, 2008).

Pada kasus keracunan makanan, dapat dimungkinkan juga terdapat lebih dari satu jenis racun yang ada dalam makanan tersebut. Gejala yang biasanya terjadi adalah mual serta muntah dengan disertai kram perut, dan terkadang diikuti dengan diare. Pada kasus yang lebih berat, seseorang dapat terserang sakit kepala, kram otot dan dehidrasi. Tetapi penyakit tersebut dapat sembuh dalam waktu 2 hari. Kematian akibat penyakit ini jarang sekali terjadi, baik pada anak-anak maupun orang tua (Lawley, 2008).

5.        Penyakit yang Ditimbulkan
Penyakit yang ditimbulkan oleh Staphylococcus aureus termasuk jenis intoksikasi, dimana keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain Staphylococcus aureus di dalam makanan, umumnya dikarenakan makanan tersebut  tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60°C) atau cukup dingin (<7.2°C) (Ray dan Bhunia, 2008).

Enterotoksin merupakan protein globuler dengan berat molekul 28.000-35.000 dalton. Enterotoksin ini bersifat toksik bagi manusia dan hewan. Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap pemanasan. Oleh  karena itu,  meskipun  bakterinya  telah  mati  karena  pemanasan  (pemanasan pada suhu 66°C selama 10 menit), toksinnya masih dapat bertahan pada suhu 100°C selama 30 menit (Gaman dan Sherington, 1992).

6.        Catatan Insiden atau Outbreak
Keracunan makanan akibat staphylococcal jarang sekali dilaporkan, selain itu kejadian yang sebenarnya pun seringkali tidak pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa kasus yang pernah terjadi mengenai penyakit akibat keracunan makanan tersebut, yaitu seperti di Amerika Serikat. Pada saat itu, wabah yang tejadi berkaitan dengan susu coklat yang berdampak bagi anak sekolah di AS. Diperkirakan bahwa susu coklat tersebut mengandung enterotoksin sekurangnya 144 (±50) ng. Toksin yang terdapat pada susu coklat tersebut dihasilkan akibat penggunaan temperatur yang kurang tepat sebelum pasteurisasi (Lawley, 2008).

Selain itu, di Jepang selama tahun 2000 pun terjadi sebuah wabah massal (410.000 kasus) akibat keracunan makanan staphylococcal. Wabah tersebut berkaitan dengan susu dari susu tunggal yang melibatkan enterotoksin staphylococcal A (SEA) pada tingkat yang sangat rendah (80 ng). Akan tetapi, dilakukan penelitian selanjutnya yang menunjukkan bahwa produk tersebut diperkirakan mengandung enterotoksin lain (SEH), yang telah diabaikan dalam pengujian asli (hanya classical staphylococcal enterotoxins (A – E) yang dipilih oleh commercial kits) (Lawley, 2008).

7.    Pencegahan Kontaminasi
Pada umumnya, keracunan makanan akibat staphylococcal dikarenakan penanganan yang kurang baik, seperti saat pemrosesan, pendinginan ataupun penyimpanan. Maka dari itu, untuk mengurangi resiko Staphylococcus aureus, selama pemrosesan harus dilakukan penanganan yang baik, dengan cara meminimalkan penanganan fisik produk yang salah, memperhatikan kebersihan dan dengan pelaksanaan pengendalian suhu yang baik. Selain itu, dalam pembuatan produk makanan sebaiknya menggunakan peralatan supaya kontak dengan manusia dapat diminimalkan ataupun saat bekerja orang tersebut harus menggunakan sarung tangan yang dapat membantu mengurangi kontak manusia langsung dengan produk makanan. Seseorang yang sedang mengalami penyakit seperti flu sebaiknya tidak disarankan untuk melakukan pekerjaan (Lawley, 2008).

Staphylococcus aureus biasanya terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroflora  endogen, dan juga terdapat pada saluran hidung dan tenggorokan (Eley, 1992). Staphylococcus aureus juga dimungkinkan terdapat di udara, debu, air, susu, pangan, peralatan pangan, dan permukaan lingkungan. Staphylococcus aureus dapat berpindah  melalui  bersin,  batuk,  kontak  jari,  kontak  bibir,  gigitan,  dan  sapu  tangan.  Selain  itu, beberapa  strain Staphylococcus  aureus  dapat  membentuk  koloni  pada  peralatan dan lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn dan Mc Clure, 2002). Maka dari itu, sanitasi atau kebersihan merupakan faktor penting untuk meminimalkan risiko dari Staphylococcus aureus

Setelah proses berlangsung, penanganan fisik ataupun pemberian garam atau diawetkan dapat dilakukan untuk mengurangi resiko kontaminasi Staphylococcus aureus. Dan pada produk yang beresiko sebaiknya disimpan baik pada refrigerator (<5oC) atau dalam kondisi panas (>63oC) sehingga mikroorganisme kontaminan yaitu Staphylococcus aureus tidak dapat tumbuh. Akan tetapi, pemanasan produk hanya dapat menonaktifkan Staphylococcus aureus, dan tidak dapat menonaktifkan enterotoksin. Penyalahgunaan suhu produk sebelum pengolahan panas dapat mengakibatkan keracunan makanan staphylococcal (Lawley, 2008).

Selain itu, untuk menahan atau menghambat kontaminasi pada bahan pangan, dimana jika kontaminasi tersebut sudah terjadi, dapat digunakan CO2 pada konsentrasi 80% yang dapat efektif menghambat pertumbuhannya. US Food & Drug Administration’s (FDA) menetapkan bahwa apabila terdapat keju atau ikan yang positif mengandung Staphylococcal enterotoxin sebesar ≥104 CFU/g maka produk tersebut akan ditarik dan dihapuskan dari pemasaran (Lawley, 2008).

8.        Daftar Pustaka


Blackburn C de W, PJ Mc Clure. 2002. Food-Borne Pathogens : Hazard, Risk Analysis and Control . Cambridge : Woodhead.

Elley, W. B. (1992) How in the World do Students Read? IEA, The Hague, Netherlands.

Gaman dan Sherrington, 1992. Ilmu Pangan Gadjah Mada University press.Yogyakarta.


Jawetz, Ernest. (1996). Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. EGC. Jakarta.


Lawley, Richard., Laurie Curtis., & Judy Davis. (2008).  The Food Safety Hazard Guidebook.  The Royal Society of Chemistry, UK.


Ray, B. & A. Bhunia. 2008. Fundamental Food Microbiology. 4th ed. CRC  Press,  Boca  Raton.



4 komentar:

  1. saya Vonny Veronica 11.70.0018 dari kelompok 5 Clostridium perfringens bersama dengan T.Crestella Meryl Soenarta 11.70.0020 dan Ong Benny Irawan 11.70.0017. Telah dijelaskan di atas bahwa Staphylococcus aureus membutuhkan media yang asam untuk pertumbuhan hidup. Namun pada mekanisme kerjanya Staphylococcus aureus akan menghambat produksi asam pada proses fermentasi. Bisa tolong dijelaskan bagaimana Staphylococcus aureus dapat mempertahankan hidupnya dengan mekanisme yang berlawanan dari kebutuhan hidupnya? terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya Cynthia Christinne (11.70.0047) bersama denga Cindy Kusuma (11.70.0053) dan Michael Julio (11.70.0049) akan mencoba menjawab pertanyaan dari Vonny Veronica.
      Pada poin 1 (Karakter mikroba Patogen) dijelaskan bahwa pH pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 4.5 – 9.3, dimana pertumbuhan optimum pada pH 7.0. Sedangkan pH optimum dalam memproduksi enterotoksin adalah 4.8 – 9.0. Jadi dapat diketahui bahwa bakteri ini tidak membutuhkan kondisi hidup yang asam tetapi cenderung netral atau basa (min pH 4,5). Kemampuannya dalam menghambat proses fermnetasi / kondisi asam ialah dengan menggunakan enterotoksin yang dihasilkan. Enterotoksin tersebut memiliki pH yang sangat basa (mencapai 9), sehingga ketika ada kondisi asam yang menyerang, enterotoksin akan mempertahankan kondisi hidupnya agar tetap pada kondisi basa. Dengan kondisi basa yang cukup kuat inilah ia mampu menghambat produksi asam pada proses fermentasi. Semoga menjawab pertanyaan. Terima Kasih.

      Hapus
  2. saya febby ernita S nim 11.70.0054 kelompok 14 bersama dengan Yuni Rusiana 11.70.0055 dan Setiyo Wiraman 11.70.0056 mau bertanya. pada produk yang beresiko terhadap staphylococcus aureus sebaiknya disimpan dalam kondisi panas (>63oC) namun pada suhu tersebut tidak dapat menonaktifkan enterotoksin. padahal foodborne disease dapat terjai berkaitan dengan jumlah enterotoksin. apakah bisa enterotoksin dinonaktifkan? jika bisa bagaimana caranya?
    terima kasih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya Cindy Kusuma (11.70.0053) bersama dengan Cynthia Christinne (11.70.0047) dan Michael Julio (11.70.0049) akan mencoba menjawab pertanyaan dari kelompok Febby Ernita. Berdasarkan sumber yang kami dapat, Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang mampu memproduksi toksin, yaitu berupa enterotoksin. Enterotoksin merupakan jenis toksin yang tahan terhadap kondisi ekstrim, khusunya dalam kondisi panas (>63oC) yang tidak dapat menonaktifkan enterotoksin. Toksin tersebut dapat dirusak secara bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit. Salah satu cara yang memungkinkan dapat menghindari atau mencegah adanya enterotoksin yaitu dengan mencegah pertumbuhan dari Staphylococcus aureus yang menghasilkan enterotoksin tersebut. Pencegahan pertumbuhan dari Staphylococcus aureus itu sendiri dapat menggunakan zat antimikroba, ataupun selama pemrosesan harus dilakukan penanganan yang baik, dengan cara meminimalkan penanganan fisik produk yang salah, memperhatikan kebersihan dan dengan pelaksanaan pengendalian suhu yang baik. Selain itu, produksi toksin dapat dihambat secara efektif dengan asam laktat sehingga pHnya akan menurun dimana aktivitas Staphylococcus aureus dapat terhambat di bawah pH 5. Pengkombinasian garam (NaCl) dan pH dapat mengontrol produksi dari toksin yang berarti dapat mengurangi produksi toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus.

      Hapus