TUGAS KEAMANAN PANGAN
“STAPHYLOCOCCUS AUREUS”
Disusun oleh :
Kelompok
13
Cynthia Christinne 11.70.0047
Michael Julio 11.70.0049
Cindy
Kusuma 11.70.0053
1.
Karakter Mikroba Patogen
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang
hidup secara menggerombol dan tidak dapat membentuk spora. Bakteri ini memiliki
sel yang berbentuk bola dengan diameter sekitar 1 μm dan dinding selnya tersusun atas
dua komponen yaitu peptidoglikan dan asam teikhoat, serta tidak memiliki
kapsul. Kemampuan patogen yang dimiliki oleh Staphilococcus aureus adalah adanya kemampuan menghasilkan
koagulase, yaitu suatu protein yang mirip enzim dan dapat menggumpalkan plasma
yang telah diberi oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat
dalam serum. Bakteri yang mampu membentuk koagulase ini dianggap memiliki
potensi sebagai mikroba patogen (Jawetz, 1996).
Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang mampu
memproduksi toksin (termasuk mikroorgansime patogen) dan mampu hidup baik
dengan kondisi aerob maupun anaerob dalam bahan pangan. Jenis toksin yang
diproduksi adalah enterotoksin A, sehingga disebut juga dengan Staphylococcal enterotoxins.
Karakteristik umum yang dimiliki Staphylococcus
aureus atau Staphylococcal
enterotoxins ini adalah:
-
Stabil
terhadap panas.
-
Protein
larut air yang tahan terhadap enzim proteolitik (pepsin dan tripsin).
-
Tahan
terhadap aktivitas metabolisme pencernaan manusia.
-
Suhu
pertumbuhan: 7-46°C; optimal pada 37°C.
Suhu optimum dalam
memproduksi enterotoksin: 40°C.
- pH
pertumbuhan: 4.5 – 9.3, optimum pada pH 7.0.
pH optimum dalam
memproduksi enterotoksin: 4.8 – 9.0, biasanya aktivitas bakteri ini akan terhambat di bawah pH 5.
- Enterotoksin
memiliki Aw di bawah 0,87; sehingga Staphylococcus aureus sangat tahan terhadap kondisi pengeringan.
(Lawley,
2008)
2.
Sumber Kontaminasi
Salah satu
sumber kontaminasi Staphylococcus aureus
adalah kulit manusia yang sebagian besar terkumpul di bagian tangan dan hidung
manusia. Secara tidak langsung, kontaminasi bakteri ini dapat terjadi ketika
aktivitas pengolahan bahan pangan dilakukan langsung dengan tangan, tanpa
penggunaan alat sanitasi seperti sarung tangan atau larutan antibakteri. Selain
itu, kontaminasi juga dapat terjadi melalui respirasi atau pernafasan manusia
karena pada suatu penelitian menunjukkan bahwa 40-50% manusia adalah pembawa Staphylococcus aureus di dalam hidungnya. Sehingga benda-benda di sekitar manusia
pun akan tercemar juga dengan bakteri ini dan terakumulasi seiring dengan
kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhannya (Jawetz, 1996). Selain
manusia, hewan juga termasuk objek pembawa bakteri patogen ini. Misalnya pada
sapi yang terkena penyakit Mastitis, dimana penyakit tersebut disebabkan karena terserang bakteri Staphylococcus aureus (Lawley,
2008).
3.
Bahan Pangan yang Sering
Terkontaminasi
Staphylococcus aureus terdeteksi sebagai bakteri
kontaminan atau bakteri patogen yang mampu hidup dan beraktivitas pada berbagai
jenis bahan pangan. Jenis bahan pangan yang terkontaminasi Staphylococcus aureus antara lain adalah:
a.
Susu
dan produk berbasis susu (coklat, mentega, dan keju)
b.
Produk
daging dan unggas (bacon, sosis,
daging kaleng, ham, dan kornet daging)
c.
Produk
fermentasi lambat (keju)
== Mekanisme kerja Staphylococcus aureus ini adalah dengan menghambat produksi asam
dari proses fermentasi dengan memutuskan ikatan rantainya. Dengan proses
fermentasi yang lambat, maka produksi asam akan menjadi lebih lambat/sedikit dibandingkan dengan
proses fermentasi yang menggunakan waktu singkat seperti yoghurt dan tempe. Hal ini terlihat bahwa terjadi kompetisi antara
asam yang dihasilkan dengan bakteri Staphylococcus
aureus yang menjadikan asam sebagai medianya untuk bertahan hidup dalam
media pangan yang difermentasi.
Ketika
bakteri Staphylococcus aureus sudah
ada di dalam bahan pangan, ketahanan yang dimilikinya antara lain adalah:
- Tahan
terhadap pengeringan yang tidak menggunakan panas karena bakteri ini memiliki
nilai Aw yang sangat
rendah (0,87).
- Dapat
memproduksi enterotoksin pada kondisi aerob (ada O2), tetapi tetap
dapat memproduksi dalam jumlah kecil pada kondisi anaerob (tanpa O2).
- Tahan
pada pengolahan suhu pasterurisasi, yaitu 60°C.
(Lawley,
2008)
4.
Gejala
yang Timbul
Staphylococcal merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan foodborne disease yang diakibatkan oleh keracunan makanan. Keracunan makanan
tersebut tergolong dalam bentuk yang ringan, meskipun begitu semua orang rentan
terhadap hal tersebut. Foodborne
disease terjadi melalui racun
yang ada dalam bahan makanan, dan akan memberikan suatu gejala yang cepat yaitu
antara 30 menit hingga 7 jam, akan tetapi rata-rata yang sering terjadi adalah
2 - 4 jam. Tingkat keparahan gejala tersebut berkaitan dengan jumlah
enterotoksin yang dicerna, selain itu kerentanan individu terhadap enterotoksin
tertentu. Jumlah enterotoksin antara 0,1 – 1 µg dapat menyebabkan penyakit,
begitupula dengan enterotoksin yang diproduksi oleh organisme yang mencapai 105-106
CFU/g dalam makanan (Lawley, 2008).
Pada kasus keracunan makanan, dapat dimungkinkan juga terdapat
lebih dari satu jenis racun yang ada dalam makanan tersebut. Gejala yang
biasanya terjadi adalah mual serta muntah dengan disertai kram perut, dan
terkadang diikuti dengan diare. Pada kasus yang lebih berat, seseorang dapat
terserang sakit kepala, kram otot dan dehidrasi. Tetapi penyakit tersebut dapat
sembuh dalam waktu 2 hari. Kematian akibat penyakit ini jarang sekali terjadi,
baik pada anak-anak maupun orang tua (Lawley, 2008).
5.
Penyakit
yang Ditimbulkan
Penyakit yang ditimbulkan oleh Staphylococcus
aureus termasuk jenis intoksikasi, dimana keracunan pada
manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa
strain Staphylococcus aureus di dalam
makanan, umumnya dikarenakan makanan tersebut
tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60°C) atau cukup dingin
(<7.2°C) (Ray dan Bhunia, 2008).
Enterotoksin
merupakan protein globuler dengan berat molekul 28.000-35.000 dalton. Enterotoksin
ini bersifat toksik bagi manusia dan hewan. Toksin yang dihasilkan sangat tahan
terhadap pemanasan. Oleh karena itu, meskipun
bakterinya telah mati
karena pemanasan (pemanasan pada suhu 66°C selama 10 menit),
toksinnya masih dapat bertahan pada suhu 100°C selama 30 menit (Gaman dan
Sherington, 1992).
6.
Catatan
Insiden atau Outbreak
Keracunan
makanan akibat staphylococcal jarang sekali dilaporkan, selain itu kejadian yang sebenarnya pun
seringkali tidak pasti. Akan tetapi, terdapat beberapa kasus yang pernah
terjadi mengenai penyakit akibat keracunan makanan tersebut, yaitu seperti di
Amerika Serikat. Pada saat itu, wabah yang tejadi berkaitan dengan susu coklat
yang berdampak bagi anak sekolah di AS. Diperkirakan bahwa susu coklat tersebut
mengandung enterotoksin sekurangnya 144 (±50) ng. Toksin yang terdapat
pada susu coklat tersebut dihasilkan akibat penggunaan temperatur yang kurang
tepat sebelum pasteurisasi (Lawley, 2008).
Selain itu, di Jepang selama tahun 2000 pun terjadi sebuah
wabah massal (410.000 kasus)
akibat keracunan makanan staphylococcal. Wabah tersebut
berkaitan dengan susu dari susu tunggal yang melibatkan enterotoksin
staphylococcal A (SEA)
pada tingkat yang sangat rendah (80
ng). Akan tetapi, dilakukan penelitian selanjutnya yang
menunjukkan bahwa produk tersebut diperkirakan mengandung enterotoksin lain
(SEH), yang telah diabaikan dalam pengujian asli (hanya classical staphylococcal enterotoxins (A – E) yang dipilih oleh commercial kits) (Lawley, 2008).
7. Pencegahan Kontaminasi
Pada
umumnya, keracunan makanan akibat staphylococcal dikarenakan penanganan yang kurang baik, seperti
saat pemrosesan, pendinginan ataupun penyimpanan. Maka dari itu, untuk mengurangi resiko Staphylococcus
aureus, selama pemrosesan harus dilakukan penanganan yang baik, dengan cara
meminimalkan penanganan fisik produk yang salah, memperhatikan kebersihan dan dengan pelaksanaan pengendalian suhu yang baik.
Selain itu, dalam pembuatan produk makanan sebaiknya menggunakan
peralatan supaya kontak dengan manusia dapat diminimalkan ataupun saat bekerja
orang tersebut harus menggunakan sarung tangan yang dapat membantu mengurangi
kontak manusia langsung dengan produk makanan. Seseorang yang sedang mengalami
penyakit seperti flu sebaiknya tidak disarankan untuk melakukan pekerjaan (Lawley,
2008).
Staphylococcus aureus biasanya terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroflora endogen, dan juga terdapat pada saluran
hidung dan tenggorokan (Eley, 1992). Staphylococcus
aureus juga dimungkinkan terdapat di udara, debu, air, susu, pangan, peralatan pangan, dan permukaan
lingkungan. Staphylococcus aureus dapat berpindah melalui
bersin, batuk, kontak
jari, kontak bibir,
gigitan, dan sapu
tangan. Selain itu, beberapa
strain Staphylococcus aureus
dapat membentuk koloni
pada peralatan dan lingkungan
tempat pengolahan makanan (Blackburn dan Mc Clure, 2002). Maka dari itu, sanitasi atau
kebersihan merupakan faktor penting untuk meminimalkan risiko dari Staphylococcus aureus
Setelah
proses berlangsung, penanganan fisik ataupun pemberian garam atau diawetkan dapat
dilakukan untuk mengurangi resiko kontaminasi Staphylococcus aureus. Dan pada produk yang beresiko sebaiknya
disimpan baik pada refrigerator (<5oC) atau dalam kondisi panas
(>63oC) sehingga mikroorganisme kontaminan yaitu Staphylococcus aureus tidak dapat tumbuh.
Akan tetapi, pemanasan produk hanya
dapat menonaktifkan Staphylococcus
aureus, dan tidak dapat menonaktifkan
enterotoksin. Penyalahgunaan suhu produk sebelum
pengolahan panas dapat
mengakibatkan keracunan makanan staphylococcal (Lawley,
2008).
Selain
itu, untuk menahan atau
menghambat kontaminasi pada bahan pangan, dimana jika kontaminasi tersebut sudah terjadi, dapat
digunakan CO2 pada konsentrasi 80% yang dapat efektif menghambat
pertumbuhannya. US Food & Drug Administration’s (FDA) menetapkan
bahwa apabila terdapat keju atau ikan yang positif mengandung Staphylococcal enterotoxin sebesar ≥104
CFU/g maka produk tersebut akan ditarik dan dihapuskan dari pemasaran (Lawley,
2008).
8.
Daftar
Pustaka
Blackburn C de W, PJ Mc Clure.
2002. Food-Borne Pathogens : Hazard, Risk Analysis and Control . Cambridge :
Woodhead.
Elley,
W. B. (1992) How in the World do Students Read? IEA, The Hague, Netherlands.
Gaman
dan Sherrington, 1992. Ilmu Pangan Gadjah Mada University press.Yogyakarta.
Jawetz, Ernest. (1996). Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. EGC. Jakarta.
Lawley, Richard., Laurie Curtis.,
& Judy Davis. (2008). The Food
Safety Hazard Guidebook. The Royal
Society of Chemistry, UK.
Ray,
B. & A. Bhunia. 2008. Fundamental Food Microbiology. 4th ed. CRC Press,
Boca Raton.
saya Vonny Veronica 11.70.0018 dari kelompok 5 Clostridium perfringens bersama dengan T.Crestella Meryl Soenarta 11.70.0020 dan Ong Benny Irawan 11.70.0017. Telah dijelaskan di atas bahwa Staphylococcus aureus membutuhkan media yang asam untuk pertumbuhan hidup. Namun pada mekanisme kerjanya Staphylococcus aureus akan menghambat produksi asam pada proses fermentasi. Bisa tolong dijelaskan bagaimana Staphylococcus aureus dapat mempertahankan hidupnya dengan mekanisme yang berlawanan dari kebutuhan hidupnya? terimakasih.
BalasHapusSaya Cynthia Christinne (11.70.0047) bersama denga Cindy Kusuma (11.70.0053) dan Michael Julio (11.70.0049) akan mencoba menjawab pertanyaan dari Vonny Veronica.
HapusPada poin 1 (Karakter mikroba Patogen) dijelaskan bahwa pH pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 4.5 – 9.3, dimana pertumbuhan optimum pada pH 7.0. Sedangkan pH optimum dalam memproduksi enterotoksin adalah 4.8 – 9.0. Jadi dapat diketahui bahwa bakteri ini tidak membutuhkan kondisi hidup yang asam tetapi cenderung netral atau basa (min pH 4,5). Kemampuannya dalam menghambat proses fermnetasi / kondisi asam ialah dengan menggunakan enterotoksin yang dihasilkan. Enterotoksin tersebut memiliki pH yang sangat basa (mencapai 9), sehingga ketika ada kondisi asam yang menyerang, enterotoksin akan mempertahankan kondisi hidupnya agar tetap pada kondisi basa. Dengan kondisi basa yang cukup kuat inilah ia mampu menghambat produksi asam pada proses fermentasi. Semoga menjawab pertanyaan. Terima Kasih.
saya febby ernita S nim 11.70.0054 kelompok 14 bersama dengan Yuni Rusiana 11.70.0055 dan Setiyo Wiraman 11.70.0056 mau bertanya. pada produk yang beresiko terhadap staphylococcus aureus sebaiknya disimpan dalam kondisi panas (>63oC) namun pada suhu tersebut tidak dapat menonaktifkan enterotoksin. padahal foodborne disease dapat terjai berkaitan dengan jumlah enterotoksin. apakah bisa enterotoksin dinonaktifkan? jika bisa bagaimana caranya?
BalasHapusterima kasih :D
Saya Cindy Kusuma (11.70.0053) bersama dengan Cynthia Christinne (11.70.0047) dan Michael Julio (11.70.0049) akan mencoba menjawab pertanyaan dari kelompok Febby Ernita. Berdasarkan sumber yang kami dapat, Staphylococcus aureus merupakan mikroorganisme yang mampu memproduksi toksin, yaitu berupa enterotoksin. Enterotoksin merupakan jenis toksin yang tahan terhadap kondisi ekstrim, khusunya dalam kondisi panas (>63oC) yang tidak dapat menonaktifkan enterotoksin. Toksin tersebut dapat dirusak secara bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit. Salah satu cara yang memungkinkan dapat menghindari atau mencegah adanya enterotoksin yaitu dengan mencegah pertumbuhan dari Staphylococcus aureus yang menghasilkan enterotoksin tersebut. Pencegahan pertumbuhan dari Staphylococcus aureus itu sendiri dapat menggunakan zat antimikroba, ataupun selama pemrosesan harus dilakukan penanganan yang baik, dengan cara meminimalkan penanganan fisik produk yang salah, memperhatikan kebersihan dan dengan pelaksanaan pengendalian suhu yang baik. Selain itu, produksi toksin dapat dihambat secara efektif dengan asam laktat sehingga pHnya akan menurun dimana aktivitas Staphylococcus aureus dapat terhambat di bawah pH 5. Pengkombinasian garam (NaCl) dan pH dapat mengontrol produksi dari toksin yang berarti dapat mengurangi produksi toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus.
Hapus